Rabu, 20 Juli 2011

PENATALAKSANAAN SYOK ANAFILAKTIK

I. PENDAHULUAN
Anafilaksis merupakan kompleks gejala yang timbul secara mendadak (dapat sangat berat) sebagai akibat perubahan permeabilitas vaskuler dan hiperaktifitas bronchial karena kerja dari mediator-mediator endogen yang dihasilkan oleh sel-sel mast dan basofil akibat stimuli antigen. Jadi anafilaksis merupakan reaksi antigen-antibodi (reaksi hipersensitivitas).
Penderita yang mengalami syok anafilaksis termasuk dalam kegawatan medis dan harus segera ditangani, karena dapat dengan segera jatuh ke situasi yang membahayakan jiwa bahkan fatal.
Pengetahuan tentang prosedur penanganan anafilaksis perlu dipahami dan dikuasai agar kita dapat bertindak dengan cepat dan tepat saat menjumpai kasus tersebut, dengan demikian dapat terlindung dari tuntutan hokum karena telah menjalankan prosedur dengan benar.

II. ETIOLOGI
Banyak bahan yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis dan bahan-bahan tersebut terutama masuk ke dalam tubuh melalui parenteral, walaupun ada pula bahan-bahan yang masuk melalui enteral yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis.
Bahan-bahan yang terlibat antara lain:
1. Antibiotika : penicillin dan derivatnya, sefalosporin, tetrasiklin, eritromisin, streptomisin.
2. NSAID : salisilat, aminopirin.
3. Narkotik analgetik : morfin, kodein, meprobamat
4. Anestesi local : prokain, lidokain, kokain
5. Anestesi umum : thiopental, propofol
6. Produk darah dan antisera : eritrosit, lekosit, trombosit, gama -globulin, antitoksin, anti difteri, anti rabies, anti tetanus, anti bias ular dan laba-laba.
7. Bahan diagnostic : radiokontras yodium
8. Obat – obat lain : protamin, klorpropamid, besi, yodium, tiasid, suksinilkolin.
9. Bisa hewan : lebah , lalat kerbau , ular , laba-laba, ubur-ubur.
10. Hormon : insulin, ACTH, ekstrak pituitaria.
11. Enzim dan biologis lain : asetil sistein , tambahan enzim pan- kreas.
12. Ekstra allergen potensial yang dipakai pada desensitisasi : tepung sari, makanan, bisa hewan.
PATOFISIOLOGI
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yauitu kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui tusukan / suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikatbantigen yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka antigen ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk ikatan IgE – Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti histamine, kinin, serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan reaksi hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dank arena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi dengan hanya memberikan antihistamin.
Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan menjadi prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan fase lambat anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 1. Aktivasi anafilaksis nonimunologik.
Aktivasi komplemen
- Protamin
- Plasmin
- Bahan radiokontras
- Dekstran
- Obat-obatan
- Endotoksin
- Eksotoksin
Aktivasi penguat humoral
- Koagulasi
- Fibrinolisis
- Aktivasi kinin
Pelepasn histamine secara langsung
- Narkotika
- Obat pelemas otot : d-tubokurarin, atrakurium
- Bahan radiokontras
- Antibiotika : vankomisin, polimiksin B
- Dekstran

PENGARUH MEDIATOR ENDOGEN TERHADAP SEL TARGET
Aktivasi imunologis pada sel plasma menyebabkan perubahan kadar c-AMP dalam sel, mula-mula kadarnya meningkat kemudian menurun tajam karena mengalami hidrolisis. Penurunan ini ternyata disertai dengan pelepasan mediator-mediator. Bila penurunan kadar c-AMP dapat dicegah maka pelepasan mediator ternyata tidak terjadi.
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa:
  1. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
  2. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare.
  3. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di kulit, bronkus, epiglottis dan laring.
  4. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.
  5. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan pelepasan histamine ini dapat pula disebabkan oleh PAF.
Pengaruh fisiologis dari masing-masing mediator endogen terhadap permeabilitas kapiler, vasodilatasi, bronkus, arteri koronaria dan miokardium dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 2 : Efek fisiologis mediator anafilaksis

Leukotrienes
Histamine
Prostaglandin
Kinins
PAF
Increased capillary permeability
+
+
+
+
+
Vasodilatation
+
+
+
+
+
Bronchospasm
+
+
+
+

Coronary spasm
+
+
+


Myocardial depression
+





GAMBARAN KLINIS
Gejala dan tanda yang diakibatkan oleh reaksi anafilaksis ataupun anafilaktoid sangat bervariasi, dapat tunggal ataupun kombinasi dari beberapa gejala. Gambaran klinis yang terjadi tergantung dari caranya antigen masuk, jumlah dan kecepatan absorbsi dan tingkat hipersensitivitas tubuh.
Saat timbulnya gejala berkisar antara 5 – 60 menit dan biasanya dalam 30 menit pertama. Antigen yang masuk melalui parenteral akan lebih cepat memberikan reaksi dibandingkan melalui cara lain dan reaksi yang terjadi dapat bersifat sementara atau terus berlanjut.
Manifestasinya pada tubuh antara lain:
1. Kulit : - eritema
- Urtikaria
- Edema angioneurotik
- Eyeksi konjungtiva
- Pucat
- Sianosis
2. Kardiovaskuler : - Takikardi
- Hipotensi
- syok
3. Respirasi : - Rinitis
- Spasme bronkus
- Obstruksi laring karena edema
4. Gastrointestinal : - Mual
- Muntah
- Abdominal Cramps
- Diare
5. Lain-lain : - Rasa cemas
- Batuk
- Parestesi
- Atralgia
- Kejang-kejang
- Gangguan pembekuan darah
- kesadaran menurun
Umumnya makin cepat timbulnya gejala dan tanda tersebut, makin hebat anafilaksisnya. Manifestasi yang paling berbahaya adalah pada sistem pernafasan dan kardiovaskuler.

PENGELOLAAN ANAFILAKSIS
Berbagai macam obat dapat digunakan untuk menanggulangi anafilaksis tetapi adrenalin / epinefrin masih merupakan obat terpilih untuk reaksi yang hebat. Adrenalin dapat meningkatkan produksi c-AMP sehingga pelepasan histamine dan mediator lain dapat dicegah, sedangkan xantin (aminofilin) dapat mencegah degradasi c-AMP. Oleh karena itu keduanya sangat penting dalam mengatasi anafilaksis.
Obat-obatan yang digunakan dalam terapi anafilaksis umumnya ditujukan untuk:
  1. Menghambat sintesis dan lepasnya mediator.
  2. Blokade reseptor jaringan terhadap mediator yang lepas
  3. mengembalikan fungsi organ terhadap pengaruh mediator.
Untuk menjamin keberhasilan penanganan anafilaksis diperlukan suatu persiapan yang matang dan adanya rencana terapi yang jelas. Haruslah dipikirkan bahwa dalam melakukan suatu tindakan, kemungkinan yang terburuk (anafilaksis) dapat saja terjadi. Jadi dengan kesiapan menghadapi hal tersebut, akibat buruk dari anafilaksis dapat dikurangi. Persiapan yang dapat dilakukan adalah:
1. Persiapan mental, pengetahuan dan ketrampilan:
Persiapan mental: adanya kewaspadaan yang tinggi bahwa setiap waktu anafilaksis dapat terjadi.
Persiapan pengetahuan: mengetahui garis besar anafilaksis dan farmakologi obat-obat yang dipakai.
Persiapan ketrampilan: mahir menyuntik intravena, sublingual dan transtrakeal, memasang infuse, RJP tanpa alat-alat.
2. Persiapan fasilitas, alat dan obat:
Persiapan fasilitas dan alat:
- Ada tempat untuk menidurkan penderita dalam posisi syok pada alas yang keras
- Penerangan yang cukup agar tindakan dan observasi dapat dilakukan dengan baik.
- Kemungkinan pemasangan infuse dan menggantung botol.
- Tensimeter yang berfungsi dengan baik.
- Semprit berbagai ukuran.
- Jarum / kateter intravena untuk infuse dengan berbagai ukuran.
- Set infuse.
- Tabung oksigen beserta regulator, flow meter, selang dan kanula nasal / masker bila mungkin.
- Jalan nafas orofaring.
3. Persiapan obat-obatan :
- Adrenalin siap semprit.
- Simpatomimetik lain: efedrin, metaraminol, dopamine.
- antihistamin : difenhidramin
- Kortikosteroid: hidrokortison, prednisolon, deksemetason
- Cairan kristaloid: RL, NaCl 0,9%
- Cairan koloid ( kalau mungkin) : dekstran, hemasel, albumin, expafulsin
Penanganan anafilaksis adalah sebagai berikut:
1. Oksigenasi :
Prioritas pertama dalam pertolongan adalah pernafasan. Jalan nafas yang etrbuka dan bebas harus dijamin, kalau perlu lakukan sesuai dengan ABC-nya resusitasi.
Penderita harus mendapatkan oksigenasi yang adekuat. Bila ada tanda-tanda pre syok/syok, tempatkan penderita pada posisi syok yaitu tidur terlentang datar dengan kaki ditinggikan 30 – 45 ยบ agar darah lebih banyak mengalir ke organ-organ vital. Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen dengan masker. Apabila terdapat obstruksi laring karena edema laring atau angioneurotik, segera lakukan intubasi endotrakeal untuk fasilitas ventilasi. Ventilator mekanik diindikasikan bila terdapat spasme bronkus, apneu atau henti jantung mendadak.
2. Epinefrin
Epinefrin atau adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamine dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Dosis yang dianjurkan adalah 0,25 mg sub kutan setiap 15 menit sesuai berat gejalanya. Bila penderita mengalami presyok atau syok dapat diberikan dengan dosis 0,3 – 0,5 mg (dewasa) dan 0,01 mg/ KgBB (anak) secara intra muskuler dan dapat diulang tiap 15 menit samapi tekanan darah sistolik mencapai 90-100 mmHg. Cara lain adalah dengan memberikan larutan 1-2 mg dalam 100 ml garam fisiologis secara intravena, dilakukan bila perfusi otot jelek karena syok dan pemberiannya dengan monitoring EKG. Pada penderita tanpa kelainan jantung, adrenalin dapat diberikan dalam larutan 1 : 100.000 yaitu melarutkan 0,1 ml adrenalin dalam 9,9 ml NaCl 0,9% dan diberikan sebanyak 10 ml secara intravena pelan-pelan dalam 5 – 10 menit. Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang mendapat anestesi volatile untuk menghindari terjadinya aritmia ventrikuler.
3. Pemberian cairan infus intravena
Pemberian cairan infuse dilakukan bila tekanan sistolik belum mencapai 100 mmHg (dewasa) dan 50 mmHg (anak). Cairan yang dapat diberikan adalah RL/NaCl, Dextran/ Plasma. Pada dewasa sering dibutuhkan cairan sampai 2000ml dalam jam pertama dan selanjutnya diberikan 2000 – 3000 ml/m² LPB/ 24 jam. Plasma / plasma ekspander dapat diberikan segera untuk mengatasi hipovolemi intravaskuler akibat vasodilatasi akut dan kebocoran cairan intravaskuler ke interstitial karena plasma / plasma ekspander lebih lama berada di dalam intravaskuler dibandingkan kristaloid. Karena cukup banyak cairan yang diberikan, pemantauan CVP dan hematokrit secara serial sangat membantu.
4. Obat-obat vasopressor
Bila pemberian adrenalin dan cairan infuse yang dirasakan cukup adekwat tetapi tekanan sistolik tetap belum mencapai 90 mmHg atau syok belum teratasi, dapat diberikan vasopressor. Dopamin dapat diberikan secara infuse dengan dosis awal 0,3mg/KgBB/jam dan dapat ditingkatkan secara bertahap 1,2mg/KgBB/jam untuk mempertahankan tekanan darah yang membaik. Noradrenalin dapat diberikan untuk hipotensi yang tetap membandel.
5. Aminofillin
Sama seperti adrenalin, aminofillin menghambat pelepasan histamine dan mediator lain dengan meningkatkan c-AMP sel mast dan basofil. Jadi kerjanya memperkuat kerja adrenalin. Dosis yang diberikan 5mg/kg i.v pelan-pelan dalam 5-10 menit untuk mencegah terjadinya hipotensi dan diencerkan dengan 10 ml D5%. Aminofillin ini diberikan bila spasme bronkus yang terjadi tidak teratasi dengan adrenalin. Bila perlu aminofillin dapat diteruskan secara infuse kontinyu dengan dosis 0,2 -1,2 mg/kg/jam.
6. Kortikosteroid
Berperan sebagai penghambat mitosis sel precursor IgE dan juga menghambat pemecahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat pada fase lambat. Kortikosteroid digunakan untuk mengatasi spasme bronkus yang tidak dapat diatasi dengan adrenalin dan mencegah terjadinya reaksi lambat dari anafilaksis. Dosis yang dapat diberikan adalah 7-10 mg/kg i.v prednisolon dilanjutkan dengan 5 mg/kg tiap 6 jam atau dengan deksametason 40-50 mg i.v. Kortisol dapat diberikan secara i.v dengan dosis 100 -200 mg dalam interval 24 jam dan selanjutnya diturunkan secara bertahap.
7. Antihistamin
Bekerja sebagai penghambat sebagian pengaruh histamine terhadap sel target. Antihistamin diindikasikan pada kasus reaksi yang memanjang atau bila terjadi edema angioneurotik dan urtikaria. Difenhidramin dapat diberikan dengan dosis 1-2mg/kg sampai 50 mg dosis tunggal i.m. Untuk anak-anak dosisnya 1mg/kg tiap 4 -6 jam.
8. Resusitasi Jantung Paru
RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan pernafasan. Untuk itu tidakan RJP yang dilakukan sama seperti pada umumnya.
Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik fasilitasnya, maka sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu. Sangatlah tidak bijaksana mengirim penderita syok anafilaksis yang belum stabil penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan yang lebih buruk bahkan fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan perawat yang menguasai penanganan kasus gawat darurat.
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat dipulangkan karena kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis. Sebaiknya penderita tetap dimonitor paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini sebaiknya penderita dirawat di Unit Perwatan Intensif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar